Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Pertama: Sifat Tsubutiyah.
Sifat Tsubutiyah, ialah setiap sifat yang ditetapkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk Diri-Nya di dalam al-Qur'an atau melalui sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Sifat-sifat ini semuanya adalah sifat kesempurnaan, tidak menun-jukkan sama sekali adanya cela dan kekurangan. Contohnya: Hayaah (hidup), Ilmu (mengetahui), Qudrah (berkuasa), Istiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy, Nuzuul (turun) ke langit terendah, Wajh (wajah), Yad (tangan) dan lain-lainnya.
Sifat-sifat Allah tersebut wajib ditetapkan benar-benar sebagai milik Allah sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, berdasarkan dalil naqli dan ‘aql.
Sifat Tsubutiyah ada dua macam: Dzaatiyah dan Fi’liyah.
Sifat Dzaatiyah, ialah sifat yang senantiasa dan selamanya tetap berada pada diri Allah Azza wa Jalla. Seperti: Hayat (hidup), Kalam (berbicara), ‘Ilmu (mengetahui), Qudrah (berkuasa), Iradah (keinginan), Sami’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), Izzah (kemuliaan, keperkasaan), Hikmah (kebijaksanaan), ‘Uluww (ketinggian, di atas makhluk), ‘Azhamah (keagungan). Dan termasuk dalam sifat ini adalah sifat Khabariyah seperti adanya wajah, yadain (dua tangan) dan ‘ainan (dua mata).
Sifat Fi’liyah, ialah sifat yang terikat dengan masyi’ah (kehendak) Allah Azza wa Jalla. Jika Allah menghendaki, dilakukan-Nya, dan jika tidak, dilakukan-Nya. Seperti; Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan nuzul (turun) ke langit terendah, ataupun datang pada hari Kiamat, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
"Dan datanglah Rabb-mu, sedang Malaikat berbaris-baris.” [Al-Fajr: 22]
Boleh juga suatu sifat menjadi dzaatiyah-fi’liyah, ditinjau dari dua segi, seperti kalaam (pembicaraan) ditinjau dari segi asal atau pokoknya adalah sifat dzaatiyah kerana Allah Azza wa Jalla selamanya akan tetap berbicara, tetapi ditinjau dari segi satu persatu terjadinya kalam adalah sifat fi’liyah kerana terikat dengan masyi-ah (kehendak), dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala berbicara apa saja yang Dia kehendaki bila Dia menghendaki. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepadanya: ‘Jadilah, maka terjadilah.” [Yaasin: 82]
Dan setiap Sifat Allah yang terikat dengan masyi’ah adalah mengikuti hikmahNya. Hikmah ini kadangkala dapat kita ketahui, tetapi kadangkala kita tidak mampu memahami, namun kita benar-benar yakin bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menghendaki sesuatu melainkan apa yang dikehendaki-Nya itupun sesuai hikmah-Nya, seperti yang diisyaratkan Allah melalui firman-Nya:
“Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana" [Al-Insaan: 30]
Kedua: Sifat Salbiyah
Sifat Salbiyah, ialah setiap sifat yang dinafikan Allah Subhanahu Wa Ta'ala bagi Diri-Nya melalui Al-Qur’an atau sabda Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam . Dan seluruh sifat ini adalah sifat kekurangan dan tercela bagi Allah, contohnya; maut (mati, tidak hidup), naum (tidur), jahl (bodoh), nisyan (kelupaan), ‘ajz (kelemahan, ketidakmampuan), ta’ab (kecapekan, kelelahan). Sifat-sifat tersebut wajib dinafikan dari Allah Azza wa Jalla berdasarkan keterangan di atas, dengan disertai penetapan sifat kebalikannya secara lebih sempurna. Misalnya, menafikan maut (mati) dan naum (tidur) bererti menetapkan kebalikannya bahwasanya Allah Dzat Yang Maha hidup dengan sempurna, menafikan jahl (kebodohan) bererti menetapkan bahwasanya Allah Dzat Yang Maha mengetahui dengan ilmu-Nya yang sempurna.[1]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
[1]. Lihat at-Tanbiihat al-Lathiifah ‘ala Mahtawat ‘alaihil ‘Aqiidah al-Wasithiyah min al-Mabaahits al-Muniifah (hal. 40, 47) karya Syaikh as-Sa’di dan al-Qawaaidul Mutsla fii Shiffatilaahi wa Asmaa’ihil Husna (hal.59-63) karya Syaikh Muhammad al-Utsaimin serta Syarah ‘Aqiidah Wasithiyyah oleh Khalil Hiras hal. 159-160.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan