Allah ta’ala berfirman :
“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu” [QS. Al-Maaidah : 64].
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” [QS. Az-Zumar : 67].
Setelah menyebutkan dua ayat tersebut, Al-Imam Al-Humaidiy rahimahullah (guru dari Al-Imam Al-Bukhariy rahimahullah) berkata :
“Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang serupa dengan ini, maka kami tidak menambah-nambahi dan tidak pula menafsirkannya (menta’wilkannya). Kami berhenti atas apa-apa yang Al-Qur’an dan As-Sunah berhenti padanya. Dan kami berkata : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Barangsiapa yang berpendapat selain itu, maka ia seorang Mu’aththil Jahmiy” [Ushuulus-Sunnah oleh Al-Humaidiy, hal. 42, tahqiq : Misy’aal Muhammad Al-Haddaadiy; Daar Ibn Al-Atsiir, Cet. 1/1418].
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata :
“Dan telah berkata Bisyr bin Musa : Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidiy, dan ia (Al-Humaidiy) menyebutkan hadits : ‘Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya’.[1] Beliau berkata : ‘Kami tidak mengatakan yang lain selain ini dikarenakan sikap taslim (berserah diri) dan ridla dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan tidak merasa berat untuk mengatakan sebagaimana yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits” [Taariikhul-Islaam, juz 7; Maktabah Ruuhil-Islaam].
Al-Qadli Abu Ya’la rahimahullah meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau berkata :
“Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan dengan dalil firman-Nya : “Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64). Dia juga memiliki wajah dengan dalil firman Allah : “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah” (QS. Al-Qashaash : 88) dan juga firman-Nya : “Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dia juga mempunyai kaki dengan dalil sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Hingga Rabb (Allah) ‘azza wa jalla meletakkan kaki-Nya padanya…” (HR. Bukhari dan Muslim) yaitu pada neraka” [Thabaqat Al-Hanabilah oleh Al-Qaadliy Abu Ya’la Al-Farraa’, 2/269, tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman bin Sulaiman Al-‘Utsaimin; Cet. Tahun. 1419].
Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ary rahimahullah berkata :
“Dan bahwasannya Allah mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (QS. Ar-Rahman : 27). Dia jga mempunyai dua tangan tanpa menanyakan ‘bagaimananya’, sebagaimana firman-Nya : “Yang telah Ku-ciptakan dengan dua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75) dan firman-Nya : “…..tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64). Dan Dia subhaanahu juga mempunyai dua mata tanpa menanyakan ‘bagaimananya’, dengan dalil firman Allah subhaanahu : “Yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan mata) Kami” (QS. Al-Qamar : 14) [Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1].
Syaikhul-Islam Abu ‘Utsman Ash-Shabuni rahimahullah berkata :
“Mereka (Ahlul-Hadits) tidak meyakini sifat-sifat itu dengan cara menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah ta’ala telah menciptakan Adam ‘alaihis-salaam dengan dua tangan-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an : “Allah berfirman : ‘Hai Iblis, apa yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Mereka (Ahlul-Hadits) juga tidak menyimpangkan Kalamullah dari pengertian yang sebenarnya, dengan mengartikan kedua tangan Allah sebagai dua kenikmatan atau dua kekuatan sebagaimana yang dilakukan oleh Mu’tazillah dan Jahmiyyah – semoga Allah membinasakan mereka - . Mereka (Ahlul-Hadits) juga tidak me-reka-reka bentuknya dan menyerupakannya dengan tangan makhluk-makhluk, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Musyabbihah – semoga Allah menghinakan mereka –“ [‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits oleh Abu ‘Utsman Ash-Shabuni, hal. 26, tahqiq : Badr bin ‘Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415. Dapat juga dilihat syarahnya yang ditulis oleh Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih yang dapat didownload dari www.Almoshaiqeh.com].
Al-Imam Juwaini (ayah Imam Al-Haramain) rahimahumallah, penulis kitab Al-Jauharah, pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada aqidah shahihah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah setelah tenggelam dalam aqidah Asy’ariyyah yang menyimpang. Beliau mengatakan dalam pendahuluan risalahnya : Al-Istiwaa’ wal-Fauqiyyah setelah beliau menetapkan sifat Allah seperti mendengar, melihat, berbicara, dua tangan, dan menarik sebagai berikut :
“Dia (Allah) bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya, ilmu-Nya melingkupi mereka, dan penglihatan terhadap mereka terbukti. Dalam Dzat dan sifat-Nya, Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tidak juga dimisalkan dengan sesuatu dari anggota-anggota badan makhluk-Nya. Ini adalah sifat-sifat yang sesuai dengan keagungan dan keluhuran-Nya. Bagaimananya tidak bisa dibayangkan, dan tidak ada mata yang dapat melihat-Nya di dunia. Tapi kita harus meyakini kebenaran dan ketetapannya, serta menyifati Tuhan dengan sifat-sifat tersebut. Kita (harus) menafikkan penakwilan dari orang-orang muta’awwiliin, penolakan dari orang-orang yang ingkar, dan permisalan dari orang-orang musyabbihiin. Maha Suci Allah dan Ia adalah sebaik-baik pencipta. Kepada Tuhan ini kita beriman, menyembah, shalat, dan bersujud. Oleh karena itu, orang yang sengaja beribadah kepada Tuhan yang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka sesungguhnya ia menyembah kepada selain Allah, karena yang disembahnya itu bukanlah Tuhan” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 56-57].
‘Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam sifat-sifat Allah ta’ala adalah beriman kepada sifat-sifat-Nya sebagaimana yang terdapat dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam tanpa tahrif (ta’wil), ta’thil, takyif, dan tamtsil, serta mengimani bahwa Allah itu tidak serupa dengan sesuatu apapun. Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka mereka tidak menafikkan dari-Nya sifat-sifat yang Allah tetapkan buat diri-Nya dan tidak menyelewengkan kalimat dari lafadh/makna aslinya, dan tidak membuat ilhad (penentangan/penyelewengan) nama-nama Allah, tidak men-takyif (menanyakan bagaimana bentuknya) serta tidak men-tamtsil (menyerupakan) sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, karena tidak ada yang sama bagi-Nya dan tidak boleh diqiyaskan dengan makhluk-Nya. Dan Allah lebih mengetahui tentang diri-Nya dan tentang yang lainnya (dari makhlukNya). ‘Aqidah ini merupakan kesepakatan para ulama salaf Ahlus-Sunnah mutaqaddimiin (terdahulu).
Al-Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibaniy rahimahullah berkata :
“Para fuqahaa’ semuanya dari wilayah timur sampai barat telah sepakat untuk beriman kepada Al-Qur’an dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hal shifat Rabb ‘azza wa jalla tanpa mengubah (ta’wil/tahrif), menyebutkan kaifiyah sifat-Nya, dan menyerupakan dengan makhluk-Nya. Barangsiapa menafsirkannya pada hari ini tentang sifat-sifat Allah tersebut, sungguh ia telah keluar dari apa-apa yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di atasnya dan memisahkan diri dengan jama’ah. Sesungguhnya mereka (para fuqahaa) tidak menafsirkan (tentang sifat Allah), namun mereka berfatwa dengan apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan kemudian diam. Barangsiapa yang berkata dengan perkataan orang Jahmiyyah, berarti ia telah memisahkan diri dengan jama’ah, karena ia telah mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak ada” [Syarh Ushuul I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalika’iy, hal. 432-433 no. 740, tahqiq Ahmad bin Mas’ud Al-Hamdaan; Desertasi S3 Universitas Ummul-Qurra’].
Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Andalusy rahimahullah berkata :
“Ahlus-Sunah bersepakat tentang pengakuan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah dengan membawa penafsirannya pada hakikatnya, bukan pada makna majaz. Hanya saja mereka tidak menanyakan “bagaimana” (kaifiyah) atas sifat-sifat tersebut. Adapun golongan Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Khawarij; mereka semua mengingkarinya dan tidak memberikan pengertian pada makna hakikatnya. Mereka (Jahmiyyah, Mu’tazillah, dan Khawarij) menganggap orang-orang yang menyepakati hal tersebut (yaitu Ahlus-Sunnah) sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Adapun mereka (yang mengingkari sifat-sifat Allah) di sisi Ahlus-Sunnah adalah golongan orang yang meniadakan Dzat yang disembah” [Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 39; Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401].
Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy rahimahullah berkata :
“Dan atas jalan inilah para salaf dan imam generasi khalaf setelahya. Semuanya sepakat untuk menerima, membiarkan apa adanya, dan menetapkan sifat-sifat Allah. Baik yang terdapat di dalam Kitabullah (Al-Qur’an) maupun As-Sunnah, tanpa berpaling untuk menta’wilkannya” [Syarh Lum’atil-I’tiqaad oleh Shaalih Aalusy-Syaikh; http://www.islamway.com].
Menetapkan sebagaimana dhahir makna dan lafadhnya tanpa ta’wil bukanlah tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), sebagaimana tuduhan orang-orang bodoh dari kalangan Asy-ariyyah dan yang semisal dengannya. Maka, perhatikanlah perkataan Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah :
”Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ”Tangan (Allah) seperti tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku”. Inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’ dan ’seperti’; maka itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Mukhtashar Al-’Ulluw lidz-Dzahabi, hal. 69].
Al-Imam Nu’aim bin Hammad Al-Khuzaa’iy Al-Haafidh rahimahullah :
”Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya, maka ia telah kafir. Dan tidaklah apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya dan (yang disifatkan) Rasul-Nya itu sebagai satu penyerupaan (tasybih)” [Mukhtashar Al-’Uluuw, hal. 184 no. 216, dengan sanad shahih].
Tuduhan mereka (ahlul-bid’ah) kepada Ahlus-Sunnah sebagai kaum Musyabbihah sudah terjadi semenjak beratus-ratus tahun yang lalu, sebagaimana dikatakan oleh Abu ‘Utsman Ash-Shabuniy rahimahullah :
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran aka-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah”.
Mereka mengatakan itu karena pemahaman yang sakit, rusak, serta sikap permusuhan abadi kepada Ahlus-Sunnah – walau mereka juga mengaku sebagai ‘Ahlus-Sunnah’.
Itu saja yang dapat dituliskan. Semoga penyebutan beberapa dalil, riwayat, dan penjelasan para ulama di atas dapat memberikan satu gambaran gamblang tentang ‘aqidah Ahlus-Sunnah dalam masalah sifat Allah. Sekaligus menerangkan kekeliruan paham Asy’ariyyah yang sering mengklaim bahwa mereka adalah Ahlus-Sunnah dalam perkara ‘aqidah ini. Allahul-Musta’an……
Abu Al-Jauzaa’ Al-Bogoriy – 4 jumadits-tsaniy 1430
_________________
[1] Sebagian ulama mengatakan bahwa dlamir (kata ganti) ‘hi’ tidak kembali pada Allah. Namun ini keliru. Yang benar, dlamir tersebut kembali kepada Allah ta’ala. Inilah pemahaman yang ditempuh oleh para ulama salaf.
Dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal ia berkata : “Kami pernah berada di Bashrah bersama seorang Syaikh. Ia membawakan kepada kami hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah ta’ala menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya’. Ia (Syaikh tersebut) berkata : ‘Tafsirnya adalah (menciptakan) dengan bentuk (dari) tanah’. Maka aku ceritakan perihal tersebut kepada bapakku (Al-Imam Ahmad bin Hanbal) rahimahullah, dan beliau berkata : ‘Orang ini adalah Jahmiy. Ini adalah perkataan Jahmiyah’ [Ibthaalut-Ta’wiilaat, q : 55-56, melalui perantaraan kitab Al-Masaailu war-Rasaailul-Marwiyatu ’anil-Imam Ahmad fil-’Aqidah oleh ’Abdullah bin Sulaiman bin Saalim Al-Ahmadiy, 1/358-359; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412 H].
Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya dlamir di dalam hadits shahih mengenai penciptaan Adam dalam bentuk-Nya adalah kembali pada Allah, dan hal itu sesuai dengan apa yang terkandung di dalam hadits Ibnu ‘Umar : ‘Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk Ar-Rahman’.
Hadits tersebut telah dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Al-Ajuriiy, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, dan imam-imam lainnya. Banyak dari para imam yang menjelaskan kesalahan Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam penolakan terhadap pengembalian dlamir tersebut kepada Allah Yang Maha Suci di dalam hadits Ibnu ‘Umar. Yang benar adalah apa yang dikatakan oleh para imam yang telah disebutkan dan juga yang lainnya mengenai kembalinya dlamir kepada Allah ta’ala tanpa disertai cara dan penyerupaan. Tetapi bentuk Allah ta’ala itu sesuai dengan-Nya dan sejalan dengan sifat-sifat-Nya, serta tidak ada sesuatupun yang serupa dengan makhluk-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala : ‘Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia’ (QS. Al-Ikhlash : 1-4). Allah ta’ala juga berfirman : ‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Melihat’ (QS. Asy-Syuura : 11). Dia juga berfirman : ‘Apakah kamu mengetahui ada orang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)’ (QS. Maryam : 65). Demikian juga firman-Nya : ‘Maka janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui’ (QS. An-Nahl : 74). Dan cukup banyak ayat Al-Qur’an yang membahas tentang hal tersebut.
Yang wajib dilakukan oleh orang-orang yang berilmu dan beriman adalahmengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits shahih tentang sifat-sifat Allah persis seperti keberadaannya dengan tidak menafsirkannya yang bertentangan dengan dhahirnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh kaum salaf dan para imamnya, dengan keimanan penuh bahwa Allah itu Maha Suci, yang tidak ada sesuatupun serupa dengan-Nya bak dalam bentuk, wajah, tangan, dan seluruh sifat-Nya, tetapi Dia Dzat yang Maha Suci yang memiliki kesempurnaan mutlak dari segala sisi dalam semua sifat-Nya. Tidak ada satu pun yang serupa dan semisal dengan-Nya. Sifat-sifat-Nya tidak dapat disejajarkan/diserupakan dengan sifat-sfat makhluk-Nya, sebagaimana hal itu telah ditetapkan oleh generasi salaf dan para imamnya dari para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya. Mudah-mudahan Allah ta’ala memberikan rahmat kepada mereka serta menjadikan kita bagian dari pengikut mereka dengan baik” [‘Aqiidah Ahlil-Iman fii Khalqi Adam ‘alaa Shuuratir-Rahmaan oleh Hamud At-Tuwaijiri, bagian sambutan awal kitab; Daarul-Wafaa’, Cet. 2/1409].
Sumber: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/aqidah-ahlus-sunnah-wal-jamaah-dalam.html
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ
“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu” [QS. Al-Maaidah : 64].
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” [QS. Az-Zumar : 67].
Setelah menyebutkan dua ayat tersebut, Al-Imam Al-Humaidiy rahimahullah (guru dari Al-Imam Al-Bukhariy rahimahullah) berkata :
وما أشبه هذا من القرآن والحديث، لا نزيد فيه ولا نفسره. نقف على ما وقف عليه القرآن والسنة. ونقول : (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى)، ومن زعم غير هذا فهو معطل جهمي.
“Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang serupa dengan ini, maka kami tidak menambah-nambahi dan tidak pula menafsirkannya (menta’wilkannya). Kami berhenti atas apa-apa yang Al-Qur’an dan As-Sunah berhenti padanya. Dan kami berkata : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Barangsiapa yang berpendapat selain itu, maka ia seorang Mu’aththil Jahmiy” [Ushuulus-Sunnah oleh Al-Humaidiy, hal. 42, tahqiq : Misy’aal Muhammad Al-Haddaadiy; Daar Ibn Al-Atsiir, Cet. 1/1418].
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata :
وقال بشر بن موسى: ثنا الحميدي، وذكر حديث " إن الله خلق آدم على صورته " .
فقال: لا تقول غير هذا على التسليم والرضا بما جاء القرآن والحديث. لا تستوحش أن تقول كما القرآن والحديث.
فقال: لا تقول غير هذا على التسليم والرضا بما جاء القرآن والحديث. لا تستوحش أن تقول كما القرآن والحديث.
“Dan telah berkata Bisyr bin Musa : Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidiy, dan ia (Al-Humaidiy) menyebutkan hadits : ‘Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya’.[1] Beliau berkata : ‘Kami tidak mengatakan yang lain selain ini dikarenakan sikap taslim (berserah diri) dan ridla dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan tidak merasa berat untuk mengatakan sebagaimana yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits” [Taariikhul-Islaam, juz 7; Maktabah Ruuhil-Islaam].
Al-Qadli Abu Ya’la rahimahullah meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau berkata :
وأن له يدين بقوله (بل يداه مبسوطتان) وأن له يميناً بقوله (والسموات مطويات بيمينه) , وإن له وجهاً بقوله (كل شيء هالك إلا وجهه), وقوله (ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام) وأن له قدماً بقول النبي صلى الله عليه وسلم (حتى يضع الرب عز وجل فيها قدمه) يعني جهنم ...
“Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan dengan dalil firman-Nya : “Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64). Dia juga memiliki wajah dengan dalil firman Allah : “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah” (QS. Al-Qashaash : 88) dan juga firman-Nya : “Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dia juga mempunyai kaki dengan dalil sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Hingga Rabb (Allah) ‘azza wa jalla meletakkan kaki-Nya padanya…” (HR. Bukhari dan Muslim) yaitu pada neraka” [Thabaqat Al-Hanabilah oleh Al-Qaadliy Abu Ya’la Al-Farraa’, 2/269, tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman bin Sulaiman Al-‘Utsaimin; Cet. Tahun. 1419].
Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ary rahimahullah berkata :
وأن له سبحانه وجها بلا كيف، كما قال: (ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام). وأن له سبحانه يدين بلا كيف، كما قال سبحانه: (خلقت بيدي)، وكما قال: (بل يداه مبسوطتان). وأن له سبحانه عينين بلا كيف، كما قال سبحانه: (تجري بأعيننا).
“Dan bahwasannya Allah mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (QS. Ar-Rahman : 27). Dia jga mempunyai dua tangan tanpa menanyakan ‘bagaimananya’, sebagaimana firman-Nya : “Yang telah Ku-ciptakan dengan dua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75) dan firman-Nya : “…..tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64). Dan Dia subhaanahu juga mempunyai dua mata tanpa menanyakan ‘bagaimananya’, dengan dalil firman Allah subhaanahu : “Yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan mata) Kami” (QS. Al-Qamar : 14) [Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1].
Syaikhul-Islam Abu ‘Utsman Ash-Shabuni rahimahullah berkata :
ولا يعتقدون تشبيهاً لصفاته بصفات خلقه ، فيقولون: إنه خلق آدم بيديه ، كما نص سبحانه عليه في قوله عزّ من قائل: قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ، ولا يحرفون الكلم عن مواضعه ، بحمل اليدين على النعمتين أو القوتين ، تحريف المعتزلة والجهمية أهلكهم الله ولا يكيفونهما بكيف، أو يشبهونهما بأيدي المخلوقين، تشبيه المشبهة خذلهم الله
“Mereka (Ahlul-Hadits) tidak meyakini sifat-sifat itu dengan cara menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah ta’ala telah menciptakan Adam ‘alaihis-salaam dengan dua tangan-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an : “Allah berfirman : ‘Hai Iblis, apa yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Mereka (Ahlul-Hadits) juga tidak menyimpangkan Kalamullah dari pengertian yang sebenarnya, dengan mengartikan kedua tangan Allah sebagai dua kenikmatan atau dua kekuatan sebagaimana yang dilakukan oleh Mu’tazillah dan Jahmiyyah – semoga Allah membinasakan mereka - . Mereka (Ahlul-Hadits) juga tidak me-reka-reka bentuknya dan menyerupakannya dengan tangan makhluk-makhluk, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Musyabbihah – semoga Allah menghinakan mereka –“ [‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits oleh Abu ‘Utsman Ash-Shabuni, hal. 26, tahqiq : Badr bin ‘Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415. Dapat juga dilihat syarahnya yang ditulis oleh Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih yang dapat didownload dari www.Almoshaiqeh.com].
Al-Imam Juwaini (ayah Imam Al-Haramain) rahimahumallah, penulis kitab Al-Jauharah, pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada aqidah shahihah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah setelah tenggelam dalam aqidah Asy’ariyyah yang menyimpang. Beliau mengatakan dalam pendahuluan risalahnya : Al-Istiwaa’ wal-Fauqiyyah setelah beliau menetapkan sifat Allah seperti mendengar, melihat, berbicara, dua tangan, dan menarik sebagai berikut :
استوى على عرشه فبان من خلفه لا يخفى عليه منهم خافية علمه بهم محيط وبصره بهم نافذ وهو في ذاته وصفاته لا يشبهه شيء من مخلوقاته ولا يمثل بشيء من جوارح مبتدعاته . هي صفات لائقة بجلاله وعظمته لا تتخيل كيفيتها الظنون ولا ترها في الدنيا العيون . بل نؤمن بحقائقها وثبوتها واتصاف الرب تعالى بها وننفي عنها تأويل المتأولين وتعطيل الجاحدين وتمثيل المشبهين تبارك الله أحسن الخالقين فبهذا الرب نؤمن وإياه نعبد وله نصلي ونسجد . فمن قصد بعبادته إلى إله ليست له هذه الصفات فإنما يعبد غير الله وليس معبوده ذلك بإله
“Dia (Allah) bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya, ilmu-Nya melingkupi mereka, dan penglihatan terhadap mereka terbukti. Dalam Dzat dan sifat-Nya, Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tidak juga dimisalkan dengan sesuatu dari anggota-anggota badan makhluk-Nya. Ini adalah sifat-sifat yang sesuai dengan keagungan dan keluhuran-Nya. Bagaimananya tidak bisa dibayangkan, dan tidak ada mata yang dapat melihat-Nya di dunia. Tapi kita harus meyakini kebenaran dan ketetapannya, serta menyifati Tuhan dengan sifat-sifat tersebut. Kita (harus) menafikkan penakwilan dari orang-orang muta’awwiliin, penolakan dari orang-orang yang ingkar, dan permisalan dari orang-orang musyabbihiin. Maha Suci Allah dan Ia adalah sebaik-baik pencipta. Kepada Tuhan ini kita beriman, menyembah, shalat, dan bersujud. Oleh karena itu, orang yang sengaja beribadah kepada Tuhan yang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka sesungguhnya ia menyembah kepada selain Allah, karena yang disembahnya itu bukanlah Tuhan” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 56-57].
‘Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam sifat-sifat Allah ta’ala adalah beriman kepada sifat-sifat-Nya sebagaimana yang terdapat dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam tanpa tahrif (ta’wil), ta’thil, takyif, dan tamtsil, serta mengimani bahwa Allah itu tidak serupa dengan sesuatu apapun. Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka mereka tidak menafikkan dari-Nya sifat-sifat yang Allah tetapkan buat diri-Nya dan tidak menyelewengkan kalimat dari lafadh/makna aslinya, dan tidak membuat ilhad (penentangan/penyelewengan) nama-nama Allah, tidak men-takyif (menanyakan bagaimana bentuknya) serta tidak men-tamtsil (menyerupakan) sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, karena tidak ada yang sama bagi-Nya dan tidak boleh diqiyaskan dengan makhluk-Nya. Dan Allah lebih mengetahui tentang diri-Nya dan tentang yang lainnya (dari makhlukNya). ‘Aqidah ini merupakan kesepakatan para ulama salaf Ahlus-Sunnah mutaqaddimiin (terdahulu).
Al-Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibaniy rahimahullah berkata :
اتفق الفقهاء كلهم من المشرق إلى المغرب (على) الإيمان بالقرآن والأحاديث التي جاء بها الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في صفة الرب عزّ وجلّ من غير تغيير ولا وصف ولا تشبيه، فمن فسر اليوم شيئًا من ذلك فقد خرج مما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم وفارق الجماعة فإنهم لم يصفوا ولم يفسروا لكن أفتوا بما في الكتاب والسنة ثم سكتوا. فمن قال بقول جهم فقد فارق الجماعة لأنه قد وصف بصفة لا شيء.
“Para fuqahaa’ semuanya dari wilayah timur sampai barat telah sepakat untuk beriman kepada Al-Qur’an dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hal shifat Rabb ‘azza wa jalla tanpa mengubah (ta’wil/tahrif), menyebutkan kaifiyah sifat-Nya, dan menyerupakan dengan makhluk-Nya. Barangsiapa menafsirkannya pada hari ini tentang sifat-sifat Allah tersebut, sungguh ia telah keluar dari apa-apa yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di atasnya dan memisahkan diri dengan jama’ah. Sesungguhnya mereka (para fuqahaa) tidak menafsirkan (tentang sifat Allah), namun mereka berfatwa dengan apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan kemudian diam. Barangsiapa yang berkata dengan perkataan orang Jahmiyyah, berarti ia telah memisahkan diri dengan jama’ah, karena ia telah mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak ada” [Syarh Ushuul I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalika’iy, hal. 432-433 no. 740, tahqiq Ahmad bin Mas’ud Al-Hamdaan; Desertasi S3 Universitas Ummul-Qurra’].
Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Andalusy rahimahullah berkata :
أهل السنة مجمعون على الإقرار بالصفات الواردة في الكتاب والسنة وحملها على الحقيقة لا على المجاز إلا أنهم لم يكيفوا شيئا من ذلك . وأما الجهمية والمعتزلة والخوارج فكلهم ينكرها ولا يحمل منها شيئا على الحقيقة ويزعمون أن من أقر بها مشبه وهم عند من أقر بها نافون للمعبود
“Ahlus-Sunah bersepakat tentang pengakuan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah dengan membawa penafsirannya pada hakikatnya, bukan pada makna majaz. Hanya saja mereka tidak menanyakan “bagaimana” (kaifiyah) atas sifat-sifat tersebut. Adapun golongan Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Khawarij; mereka semua mengingkarinya dan tidak memberikan pengertian pada makna hakikatnya. Mereka (Jahmiyyah, Mu’tazillah, dan Khawarij) menganggap orang-orang yang menyepakati hal tersebut (yaitu Ahlus-Sunnah) sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Adapun mereka (yang mengingkari sifat-sifat Allah) di sisi Ahlus-Sunnah adalah golongan orang yang meniadakan Dzat yang disembah” [Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 39; Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401].
Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy rahimahullah berkata :
وعلى هذا دَرَجَ السَّلَفُ وأَئِمَّةُ الخَلَفِ، كُلُّهُمْ مُتَّفِقُونَ على الإقْرارِ، والإمْرارِ والإثْباتِ لما وَرَدَ مِن الصِّفاتِ في كتابِ اللهِ وسُنَّةِ رسولِهِ، مِنْ غَيْرِ تَعَرُّضٍ لتأْوِيلِهِ.
“Dan atas jalan inilah para salaf dan imam generasi khalaf setelahya. Semuanya sepakat untuk menerima, membiarkan apa adanya, dan menetapkan sifat-sifat Allah. Baik yang terdapat di dalam Kitabullah (Al-Qur’an) maupun As-Sunnah, tanpa berpaling untuk menta’wilkannya” [Syarh Lum’atil-I’tiqaad oleh Shaalih Aalusy-Syaikh; http://www.islamway.com].
Menetapkan sebagaimana dhahir makna dan lafadhnya tanpa ta’wil bukanlah tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), sebagaimana tuduhan orang-orang bodoh dari kalangan Asy-ariyyah dan yang semisal dengannya. Maka, perhatikanlah perkataan Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah :
إنما يكون التشبيه إذا قال : يد مثل يدي أو سمع كسمعي، فهذا تشبيه. وأما إذا قال كما قال الله : يد وسمع وبصر، فلا يقول : كيف، ولايقول : مثل، فهذا لا يكون تشبيهاً، قال تعالى : (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
”Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ”Tangan (Allah) seperti tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku”. Inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’ dan ’seperti’; maka itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Mukhtashar Al-’Ulluw lidz-Dzahabi, hal. 69].
Al-Imam Nu’aim bin Hammad Al-Khuzaa’iy Al-Haafidh rahimahullah :
من شبه الله بخلقه، فقد كفر، ومن أنكر ما وصف به نفسه فقد كفر، وليس ما وصف به نفسه، ولا رسولُه تشبيهاً
”Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya, maka ia telah kafir. Dan tidaklah apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya dan (yang disifatkan) Rasul-Nya itu sebagai satu penyerupaan (tasybih)” [Mukhtashar Al-’Uluuw, hal. 184 no. 216, dengan sanad shahih].
Tuduhan mereka (ahlul-bid’ah) kepada Ahlus-Sunnah sebagai kaum Musyabbihah sudah terjadi semenjak beratus-ratus tahun yang lalu, sebagaimana dikatakan oleh Abu ‘Utsman Ash-Shabuniy rahimahullah :
وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني صلى الله عليه وسلم، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة، اعتقادا منهم في أخبار الرسول صلى الله عليه وسلم أنها بمعزل عن العلم، وأن العلم ما يلقيه الشيطان إليهم من نتائج عقولهم الفاسدة، ووساوس صدورهم المظلمة، وهواجس قلوبهم الخالية من الخير، وحججهم العاطلة. أولئك الذين لعنهم الله
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran aka-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah”.
Mereka mengatakan itu karena pemahaman yang sakit, rusak, serta sikap permusuhan abadi kepada Ahlus-Sunnah – walau mereka juga mengaku sebagai ‘Ahlus-Sunnah’.
Itu saja yang dapat dituliskan. Semoga penyebutan beberapa dalil, riwayat, dan penjelasan para ulama di atas dapat memberikan satu gambaran gamblang tentang ‘aqidah Ahlus-Sunnah dalam masalah sifat Allah. Sekaligus menerangkan kekeliruan paham Asy’ariyyah yang sering mengklaim bahwa mereka adalah Ahlus-Sunnah dalam perkara ‘aqidah ini. Allahul-Musta’an……
Abu Al-Jauzaa’ Al-Bogoriy – 4 jumadits-tsaniy 1430
_________________
[1] Sebagian ulama mengatakan bahwa dlamir (kata ganti) ‘hi’ tidak kembali pada Allah. Namun ini keliru. Yang benar, dlamir tersebut kembali kepada Allah ta’ala. Inilah pemahaman yang ditempuh oleh para ulama salaf.
عن عبد الله بن أحمد بن حنبل قال : كنا بالبصرة عند شيخ فحدثنا بحديث النبي : إن الله عز وجل خلق آدم على صورته. فقال الشيخ : تفسيره خلقه على صورة الطين. فحدثت بذلك أبي رحمه الله تعالى، فقال : هذا جهمي. وقال : هذا كلام الچحمية.
Dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal ia berkata : “Kami pernah berada di Bashrah bersama seorang Syaikh. Ia membawakan kepada kami hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah ta’ala menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya’. Ia (Syaikh tersebut) berkata : ‘Tafsirnya adalah (menciptakan) dengan bentuk (dari) tanah’. Maka aku ceritakan perihal tersebut kepada bapakku (Al-Imam Ahmad bin Hanbal) rahimahullah, dan beliau berkata : ‘Orang ini adalah Jahmiy. Ini adalah perkataan Jahmiyah’ [Ibthaalut-Ta’wiilaat, q : 55-56, melalui perantaraan kitab Al-Masaailu war-Rasaailul-Marwiyatu ’anil-Imam Ahmad fil-’Aqidah oleh ’Abdullah bin Sulaiman bin Saalim Al-Ahmadiy, 1/358-359; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412 H].
Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya dlamir di dalam hadits shahih mengenai penciptaan Adam dalam bentuk-Nya adalah kembali pada Allah, dan hal itu sesuai dengan apa yang terkandung di dalam hadits Ibnu ‘Umar : ‘Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk Ar-Rahman’.
Hadits tersebut telah dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Al-Ajuriiy, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, dan imam-imam lainnya. Banyak dari para imam yang menjelaskan kesalahan Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam penolakan terhadap pengembalian dlamir tersebut kepada Allah Yang Maha Suci di dalam hadits Ibnu ‘Umar. Yang benar adalah apa yang dikatakan oleh para imam yang telah disebutkan dan juga yang lainnya mengenai kembalinya dlamir kepada Allah ta’ala tanpa disertai cara dan penyerupaan. Tetapi bentuk Allah ta’ala itu sesuai dengan-Nya dan sejalan dengan sifat-sifat-Nya, serta tidak ada sesuatupun yang serupa dengan makhluk-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala : ‘Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia’ (QS. Al-Ikhlash : 1-4). Allah ta’ala juga berfirman : ‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Melihat’ (QS. Asy-Syuura : 11). Dia juga berfirman : ‘Apakah kamu mengetahui ada orang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)’ (QS. Maryam : 65). Demikian juga firman-Nya : ‘Maka janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui’ (QS. An-Nahl : 74). Dan cukup banyak ayat Al-Qur’an yang membahas tentang hal tersebut.
Yang wajib dilakukan oleh orang-orang yang berilmu dan beriman adalahmengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits shahih tentang sifat-sifat Allah persis seperti keberadaannya dengan tidak menafsirkannya yang bertentangan dengan dhahirnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh kaum salaf dan para imamnya, dengan keimanan penuh bahwa Allah itu Maha Suci, yang tidak ada sesuatupun serupa dengan-Nya bak dalam bentuk, wajah, tangan, dan seluruh sifat-Nya, tetapi Dia Dzat yang Maha Suci yang memiliki kesempurnaan mutlak dari segala sisi dalam semua sifat-Nya. Tidak ada satu pun yang serupa dan semisal dengan-Nya. Sifat-sifat-Nya tidak dapat disejajarkan/diserupakan dengan sifat-sfat makhluk-Nya, sebagaimana hal itu telah ditetapkan oleh generasi salaf dan para imamnya dari para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya. Mudah-mudahan Allah ta’ala memberikan rahmat kepada mereka serta menjadikan kita bagian dari pengikut mereka dengan baik” [‘Aqiidah Ahlil-Iman fii Khalqi Adam ‘alaa Shuuratir-Rahmaan oleh Hamud At-Tuwaijiri, bagian sambutan awal kitab; Daarul-Wafaa’, Cet. 2/1409].
Sumber: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/aqidah-ahlus-sunnah-wal-jamaah-dalam.html